Senin, 30 Januari 2017
Jumat, 06 Januari 2017
Mengasihi:
NO
|
|
IDENTIFIKASI
MASALAH/KASUS
|
AKTOR
|
PENYELESAIAN KASUS
|
|
|
Otonomi
khusus
Terjadi
pembobolan kota
kekerasan
fisik dan non fisik
|
Pemerintah
internasional UE, Australia..
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak
ada aturan dalam otonomi khusus, karena perangkat hukumnya belum tersedia
sejak disahkannya tahun 2001.
|
Pemerintah
Indonesia
|
Harus
disahkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut Perlindungan hak
dasar
|
|
|
Politik
uang dalam otonomi khusus
|
|
|
|
|
Tumbuhnya
raja-raja kecil (pemerintah daerah)
|
|
|
|
|
Pembunuhan
karakter
|
|
|
|
|
Pemekaran
Pemekaran
kabupaten dan propinsi. Dalam pasal …
Pemekaran
dilakukan stelah terbentuk Majelis rakyat papua 2005
Tapi
pemekaran sudah dilakukan 2003.
|
|
Mengajukan
gugatan JR ke MK
|
|
|
Belum
disahkannya perdasi dan perdasus
|
|
Harus
didorong untuk segera disahkan
|
|
|
Tidak
ada kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia
|
|
|
|
|
penyebaran
penyakit HIV/AIDS
|
|
|
|
|
Pemasokan
minuman keras
|
|
|
|
|
Korban
jiwa dan harta benda (Kasus Penculikan, pembunuhan dan kasus Wasior berdarah,
puncak jaya)
|
|
|
|
|
kematian
meningkat tajam melalui operasi militer
|
|
|
|
|
Kasus-kasus
paska otsus
Pembunuhan
misterius meningkat tajam
|
Belum
diketahui
|
|
|
|
Keracunan
makanan yang terjadi secara serentak d bulan Juli-sep
|
|
|
|
|
Peningkatan
pasokan minuman keras (feb-juni 171 orang meninggal di wamena)
|
|
|
|
|
Kematian
secara fisik meningkat tajam
|
|
|
|
|
Pembunuhan
non fisik (psikologis) meningkat tajam seperti masuk ot, sms dll
|
|
|
|
|
Tidak
ada kebebasan untuk rakyat papua (tertekan)
|
|
|
|
|
Kematian
dalam tahanan meningkat (LP Makasar, Jayapura)
|
|
|
|
|
Proses
hukum
Hukum
yang berlaku di Papua menjerat rakyat Papua, hukum berjalan hanya sekedar
formalitas
|
Pengadilan
militer (ks. Theis), Pengadilan HAM (ks. Abepura), PN? ks. Biak
|
|
|
|
Pengekangan
kemerdekaan berpendapat (demonstrasi)
|
Aparat
militer
|
|
|
|
Hukum
yang berlaku di Papua menjerat rakyat Papua
|
|
|
|
|
TIMIKA/SUKU
AMUNGME
- mandul
krn merkuri dari limbah freeport
- mati
pada waktu mendulang emas (ibu dan anak)
- kandungan
tanah beracun (orang freeport
makan dari export)
|
- Freeport
|
Melakukan
dialog oposisi antara pemerintah, rakyat papua dan freeport
|
|
|
Sebagian
rakyat papua yang mempunyai kepentingan tidak mendukung advokasi terhadap freeport
|
|
Mendukung
lsm/pemerintah yang mau membantu advokasi terhadap freeport
|
|
|
Perjuangan
rakyat Papua masih terkukung dalam egoisme.
|
- pejabat
- orang-orang
tua kita (pecahnya Markas Victoria:
Yakob Pray dan Set Rumkorem)
- Thomas
Wanggai 1989
|
Inventarisir
diri dan identitas diri
|
|
|
Rakyat
Papua masih bergantung kepada LSM dan NGO internasional
|
-
|
Harus
merubah pola berpikir bahwa rakyat papua adalah penentu
|
|
|
Budaya
kekerasan yang cukup tinggi di rakyat Papua
|
|
|
|
|
|
|
Demonstrasi,
mediamassa, kampanye kasus2 papua yang dilakukan oleh mahasiswa Papua
|
|
|
|
|
Melakukan
pendekatan dan kerjasaman dengan lsm2
|
|
|
|
|
Mendorong
kejaksanaan dan komnas ham dalam menangani kasus2 papua
|
|
|
Genoside
sudah terjadi sejak lama, kebijakan pemerintah yang membawa genoside seperti
kekerasan fisik (stigmatisasi), politik adu domba antar suku, Kelaparan,
pembunuhan dan penghilangan paksa. (Dilakukan secara berencana dan
sistematis)
|
Pemerintah
Indonesia
|
Melakukan
pendataan dan pemantauan terhadap kasus-kasus yang terjadi untuk pembuktian
|
|
|
Apatisme
rakyat Papua semakin kuat karena kebijakan pemekaran
|
|
Kebijakan
pemerintah yang harus dirubah
|
|
|
|
|
Dialog/duduk
bersama untuk membuat kebijakan bagi antara rakyat papua (bukan dari kalangan
birokrasi tapi dari tokoh adat, lsm, tokoh agama) dengan pemerintah indonesia
yang berkompeten
|
|
|
Status
Papua di mata rakyat Papua dan Indonesia. Tidak adanya
penghargaan rakyat papua sebagai manusia
|
|
Pengakuan
terhadap ke-papuan oleh Indonesia
|
|
|
pelanggaran
HAM yang terjadi di papua,
|
|
|
|
|
Tidak
ada nya kesadaran yang merata pada rakyat papua tentang berbagai masalah yang
ada
|
|
|
|
|
Tingkat
pendidikan, kesehatan dan perekonomian yang masih minim di rakyat papua
|
|
|
|
|
Kurangnya
komitmen (generasi muda) papua terhadap permasalah di papua
|
|
Kontrol
dari rakyat papua terhadap kebijakan pemerintah daerah papua
|
|
|
|
|
Pembagian
peran pada tiap lembaga/wadah yang terbentuk untuk menangani satu isue.
|
|
|
Rakyat
Papua masih curiga/tertutup baik terhadap rakyat papua tersendiri maupun
terhadap orang di luar papua
|
|
|
|
|
Kurang
komunikasi/koordinasi terhadap dewan adat, tokoh2 agama, kelompok perempuan,
suku2.
|
|
|
|
|
Keterikatan
rakyat papua terhadap tokoh adat
|
|
|
|
|
Otsus
perdasi perdasus bukan solusi atas permasalah papua
|
|
|
|
|
Implementasi
tidak sesuai dengan yang tertulis
|
|
Dialog
politik tetang perpera, dialog tentang kasus HAM, dialog tentang
kesejahteraan papua menyangkut pendidikan, ekonomi dan kesehatan
|
|
|
Tidak
ada konsistensi pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kebijakan/peraturan
yang telah dibuat
|
|
|
|
|
Rekaya
perang antar suku
|
freeport
|
|
|
|
Sejak
dulu (soekarno-hatta) kebijakan tentang papua tidak pernah melibatkan orang
papua
|
|
|
|
|
Perpera
Kontrak
karya sepihak yang dilakukan tidak melibatkan orang papua yang mengambil
sumber daya alam papua bukan kontrak sosial dengan masyarakat papua yang
menjamin hak hidupnya
|
|
|
|
|
Cara
pandang masyarakat indonesia
tentang papua tidak sama tidak logis memandang papua dengan nasionalismenya
|
|
|
|
|
Dampak
otsus
Pergeseran
makna otsus
|
|
|
|
|
Proses
politik paradoks inpres no. 1 (pemekaran 3 propinsi), abivalen uu 21 dengan
pemekaran dan mengundang cheos
|
|
|
|
|
Otsus
hanya dinikmati segelintir elit papua
|
|
|
|
|
Masalah
uang, modal kapital melebihi kebutuhan sosialnya. Tidak ada aturan yang kuat
tentang pengaturan pemakaian dana otsus.
|
|
|
|
|
Berkembangnya
politik kecurigaan pemerintah indonesia
terhadap segala macam kegiatan papua
|
|
|
|
|
Ada
kerancuan kebijakan dalam implementasi seperti penggunaan bendera daerah.
|
Harus
ada penegakan dan pengadilan HAM di papua
|
Memperkuat
kapital sosial di rakyat papua
|
|
|
Tidak
adanya keadilan d bidang pendidikan dan kesehatan
|
|
Harus
ada penyadaran massa
|
|
|
Tidak
ada konsep ekonomi kerakyatan yang memikirkan dari kebudayaan meramu ke
industri perkebunan
|
|
Bersatunya
kelompok masyarakat sipil papua
|
|
|
Pemaksaan
terhadap
|
|
Masalah
papua harus jadi masalah bersama
|
|
|
Pembangunan
infrastruktur hanya pembangunan kantor dinas pemekaran bukan mendorong
kapasistas rakyat papua
|
|
Membangun
wacana lewat opini (tulisan)
|
|
|
Tidak
ada kesadaran positif tentang kemerdekaan papua
|
|
Pengumpulan
data dari berbagai wilayah tentang kebijakan otsus
|
|
|
Penambahan
infrastruktur militer yang besar 754 timika, 755 wamena, 756 marauke. 3 korem
bertambaha marauke, nabire, manokwari tidak sebanding dengan jumlah penduduk
papua
|
|
Kontrak
sosial tertulis yang disepakati kedua belah pihak
|
|
|
Regenerasi
yang lemah
|
|
Dialong
dengan perantara internasional (pihak 3)
|
|
|
Pengalihan
dana konflik ke papua
|
|
Cabut
uu otsus dan Membuat solusi di luar kebijakan
|
|
|
Banyaknya
jaringan kerja yang terbentuk tapi masih bersifat masif
|
|
Persatuan
orang papua
|
|
|
Jaringan
kerja yang terbentuk hanya acsidentil dan tidak berkelanjutan
|
|
Harus
ada kelompok yang repressentative dapat mewakili suara papua dalam melakukan
dialog2
|
|
|
Pergerakan
modal/investasi di wilayah papua bergulir di mana?
|
|
|
|
|
Kepentingan
politik apa yang ada di Indonesia
|
|
|
|
|
Hutan
konservasi
|
|
|
|
|
Media
pers tidak memuat tulisan/opini tentang papua
|
|
|
|
|
Representasi
orang papua
|
|
|
|
|
Belum
adanya Konsep dialog yang jelas
|
|
|
|
|
Tidak
bersatunya kelompok2 masyarakat tentang isue otsus. Seperti sikap dewan adat
yang menolak otsus dengan sikap Pihak gereja yang mendukung otonomi khusus
dan dukungan dari pihak internasional tentang otsus.
|
|
|
|
|
Kekhususan
lambang daerah, dana otsus, dan pendidikan
|
|
|
|
|
Otsus
memperkuat posisi jakarta di papua
|
|
|
Hasil Laporan atau Resume :
Konsolidasi Fungsi Kesekretariatan kampanye HAM Papua di Jakarta.
Membicarakan Papua tidak lepas
dari bicara dalam konteks negara-bangsa. Papua sebagai wilayah yang integral
dari bangsa Indonesia, mengalami pasang surut sejarahnya. tahun 1961 sebagai proses awal pengintegrasian wilayah
Papua kedalam NKRI. memang dalam hal ini, kita perlu perdebatkan dalam kajian histories,
politik, dan ekonomi. Karena proses integralisasi Papua dibawah kepemimpinan
Soekarno, sebagai konsekwensi yang nyata dari kebijakan politik orde - lama
dalam rangka merebut wilayah kekuasaan baru dari kerajaan Hindia Belanda. Pada
tahun 1962, Papua diserahkan ditangan PBB melalui UNTEA (United Nations Tempory
Executiv Authority) pada tahun ini pula ditanda- tanganinya NewYork Agreement.
disusul pada tahun 1 Mei 1963, kehadiran pemerintah Indonesia secara de Facto,
di tanah Papua dimana pada tahun ini pula terjadinya inflasi militer secara
besar-besaran di tanah papua.
Tahun
1967 penandatanganan kontrak karya PT Freeport MCMoran Copper. penandatanganan pada masa transisi dari Soekarno ke Soeharto, sebelum Papua
di Integrasikan kepemerintah Indonesia secara de Jure. Di tahun inilah, Soeharto membuat UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing yaitu produk hukum yang pertama kali dibuat oleh pemerintahan
Soeharto. Disusul kemudian Undang-undang No 11 tahun
1967 tentang ketentuan pokok pertambangan. Dan yang memperoleh kesempatan kali pertama
kebijakan liberalisasi ini adalah Freeport. Dan pada tahun yang sama, terjadi pelaksanaan pendapat rakyat Papua (PEPERA),
sebagai wadah pernyataan masyarakat Papua terhadap nasibnya.
Pemerintahan
Orde baru (1967-1998), dibawah kepemimpinan Soeharto. Melakukan pencanangan program
pembangunan di Indonesia, tidak ketinggalan wilayah Papuapun dijadikan lahan
pelaksanaan program pembangunan orde baru tersebut. Dalam kepemimpinan presiden
ke dua ini pula, Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga
berbagai pelanggaran secara fisik maupun non fisik banyak terjadi di tanah
Papua. Banyak terjadi pelanggaran HAM di
banyak tempat secara massal seperti peristiwa ditahun 1977 di Wamena, Kab.
Timika 1977, operasi penumpasan Koteka di Kab. Paniai-Nabire 1963-1985, operasi
yang sama terjadi di kabupaten Sorong, Kab Manokwari, Kab Merauke, Kabupaten
Sarmi dll. Reformasi (1998- 2000) yang menggantikan Orde Baru, sesungguhnya
bagi rakyat Papua merupakan masa emas dimana setelah puluhan tahun terdekam
dalam pembungkaman oleh rezim militeristik, seiring dengan terkuaknya reformasi
yang menjanjikan demokrasi mengantar rakyat Papua untuk bersuara tentang
sejarah duka masa silam yang amat menyakitkan. Sejarah kebenaran dan duka anak
bangsa terkuak dengan penyampaian aspirasi ”Merdeka” diseluruh pelosok tanah Papua. Namun amat
disayangkan, era yang katanya reformis hanya menjadi sesuatu yang sifatnya
”Simbolistik” belaka. Perilaku-perilaku
yang diwariskan oleh orde baru tidak bisa hilang dari para pejabat dan militer
bangsa ini. Kekerasan demi kekerasan yang mewarnai penyelesaian Papua, semakin
menambah daftar panjang pelanggaran HAM, seperti Nabire berdarah 2000, Merauke
berdarah 2000-2001, Timika berdarah 2002, Sorong berdarah 2000, Wasior berdarah
2002 dan Abepura berdarah 2000, Operasi Mulia Puncak Jaya 2004 serta berbagai
pelanggaran HAM berat lainnya di tanah Papua.
Kebijakan Papua atau Kebijakan Jakarta
Membicarakan
mengenai Papua, sekali lagi kita akan bicara dalam konteks Indonesia (jakarta)
yang lebih luas. Persoalan Papua tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan, apa keuntungan jakarta?. Hal
inilah mengapa Papua sangat strategis untuk selalu dibicarakan. Papua mempunyai
sumber daya alam (SDA) yang luar biasa, pertambangan tembaga dan emas menjadi
surga bagi kelompok yang berkepentingan dalam hal ini Pemerintah Daerah,
Jakarta, Freeport.
Bagaimana
sebetulnya, hal ini sampai terjadi di tanah Papua. Ada kesan seolah-olah
masyarakat Papua hanya menjadi orang ketiga, ketika menentukan nasibnya
sendiri. bisa kita lihat dalam pembuatan Otsus Papua. memang dalam
kronologisnya berawal dari inisiatif berbagai tokoh dengan beragam latar
belakang di Papua, yang pada awalnya ingin meminta opsi Merdeka kepada Presiden
BJ Habibie pada tahun 1999. namun akhirnya, ditemukan jalan tengah dari
tuntutan tersebut yaitu pemberian status otonomi khusus (Otsus) Papua lewat UU
No. 21 tahun 2001.
Sebetulnya
pemberian Otsus Papua lebih kental nuansa politisnya, ketimbang pemenuhan
kesejahteraannya. Banyak tokoh yang menyatakan bahwa, pemberian Otsus Papua
tidak lebih dari upaya pemerintah pusat untuk membungkam aspirasi merdeka di tengah-tengah masyarakat Papua. Hal ini
bisa dilihat bahwa otsus sangat pragmatis, jakarta hanya memberikan modal
kapital saja bukan memberikan modal sosial.
Setelah
enam tahun pelaksanaan Otsus janji manis dalam UU otsus itu mulai di gugat.
Sebagian kalangan masyarakat sipil Papua berinisiatif untuk mengembalikan Otsus
secara simbolik ke Jakarta. Namun hal ini ditampik pihak jakarta, karena
Jakarta merasa sudah memenuhi hak-haknya dalam alokasi dana yang tercantum
dalam UU Otsus tersebut. Kesimpulan awal dari permasalahan kemandegan yang
muncul dalam pelaksanaan otonomi ini adalah akar dari inkonsistensi kebijakan Jakarta
di Papua.
Rencana Strategis
Dalam
penanganan konflik Papua, tidak lepas dari konsistensi para pihak. salah satunya
mempersiapkan tenaga-tenaga yang
kompeten yang tidak hanya mempunyai pendidikan formal saja, akan tetapi
mempunyai kemampuan berdiplomasi dalam mengangkat persoalan-persoalan Papua ke
publik.
Peran
Pemuda-Mahasiswa Papua yang ada dijakarta sangat diharapkan pelaksanaannya.
Konsolidasi antara pihak, terutama komunikasi yang intens dengan pembuat
kebijakan yang ada di Jakarta selalu ditunggu. Kemudian mengfungsikan
kesekretariatan yang lebih besar lagi, Karena fungsi kesekretariatan sangatlah
urgen dalam mengkonsolidasikan gerakan-gerakan yang massif.
Pentingnya
kajian yang mendalam dari beberapa kasus Papua. Akan menentukan tingkat
keseriusan dalam pengadvokasian kasus Papua. Sehingga gerakan-gerakan yang dilakukan sifatnya tidak
reaktif saja. Hal inilah sepertinya menjadi koreksi bagi kita semua dalam
kasus-kasus penegakan HAM di Papua. Mudah-mudahan dibentuknya tim Adhoc selama
ini, sebagai langkah awal dapat dengan cepat diselesaikannya kasus-kasus
Papua.
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan.
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
Agats, Rawa dan
sungai adalah kehidupan pesisir di Papua. Sungai yang bermuara ke Laut Arafura
ibarat darah bagi penduduk di pedalaman, salah satunya Suku Asmat yang tinggal
di Kampung Syuru, Distrik Agats, Kabupaten Asmat. Mereka sangat tergantung
dengan Sungai Asewetsj.
Sungai Asewetsj adalah kehidupan bagi mereka. Saban hari, laki-laki dan perempuan dengan perkasa tegap berdiri di atas perahu lesung mengayunkan dayung, menyisir sungai untuk menangkap ikan. Ada pula yang memanfaatkan air pasang untuk pergi ke bivak (semacam kebun di dekat hutan sagu), atau mencari air di dusun tengah hutan.
Kehidupan di Kampung Syuru memang tampak keras. Tapi mereka hidup sederhana, tak serakah dan bersahabat dengan alam. Salah satu tetua adat Syuru, Felix Owom, meyakini Syuru sebagai dusun tertua atau tempat asal-muasal orang Asmat. Dari sana kemudian orang Asmat menyebar ke berbagai daerah.
Banyak cerita, salah satunya, konon, Fumeripits yang dikenal sebagai manusia pertama terdampar di Syuru ketika perahunya terbalik disapu badai. Fumeripits yang tampan lalu dihidupkan oleh burung elang. Lama-kelamaan Fumeripits kesepian tanpa teman. Dia kemudian membuat patung dari kayu pohon berwujud perempuan dan sebuah tifa.
Sambil menari, tifa dipukul kencang-kencang. Tiba-tiba patung perempuan itu ikut menari. Juga patung-patung lain yang dibuatnya. Barangkali itu sebabnya sebagian orang meyakini konon Asmat berasal dari sebutan asmat-ow yang berarti "kami manusia sejati" atau as-asmat, yakni "kami manusia pohon".
Falsafah manusia sejati kemudian mereka wujudkan dalam kehidupan yang dekat serta menghargai alam. Mereka tak macam-macam. Saat musim kering berkepanjangan, setiap keluarga di sana hanya sibuk membuat perahu dari kayu Ci. Pembuatan perahu rata-rata membutuhkan waktu lebih dari sebulan dan setiap keluarga bisa membuat lebih dari dua perahu.
Selain sederhana, mereka pun sangat menghargai kebudayaan yang sudah turun temurun. Salah satunya adalah ritual menyambut panglima besar Suku Asmat yang juga Bupati Kabupaten Asmat. Upacara penyambutan biasanya dilakukan di tengah sungai.
Kala itu, mereka mendapat kabar sang panglima sudah sampai di Kampung Ewer, tetangga kampung terdekat dengan Kampung Syuru. Mereka pun segera menaiki sampan untuk menyambutnya di tengah Sungai Aswet yang melintasi Kampung Ewer.
Suku Asmat memang terpisah menjadi tujuh distrik dengan jumlah populasi sekitar 80 ribu jiwa. Setiap distrik dipisahkan oleh rawa dan sungai. Namun mereka biasa berkumpul dalam sebuah rumah besar sebelum acara penyambutan. Bentuk fisik arsitektur Suku Asmat digolongkan dalam dua tipe, yaitu Jew (rumah bujang) dan Tsjewi (rumah tempat tinggal keluarga batih). Jew memiliki tempat yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Asmat.
Mereka berdandan layaknya prajurit yang siap melindungi keselamatan suku mereka. Mereka akan bergegas menuju perahu kala mendengar sang pemimpin sudah tiba. Sambil menyusuri Sungai Aswet, mereka berteriak ke penjuru desa sambil membentuk formasi perahu lesung yang masing-masing bisa berbobot empat kuintal dengan panjang hingga dua meter. Formasi adalah bentuk tarian perang yang kini menjadi ritual penting dalam menyambut tamu.
Selain budaya, penduduk Kampung Syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti Suku Asmat umumnya. Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran Suku Asmat.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat kala mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain. Itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow Capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Mereka percaya sebelum memasuki dunia surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta Patung Bis (Bispokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat sagu.
Konon patung Bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Namun kini membuat patung bagi Suku Asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. Sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat Pesta Ukiran. Mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah di luar Papua.
Namun penghargaan terhadap leluhur tidak hanya dalam bentuk ukiran patung. Suku Asmat juga mempersembahkan tarian yang mereka sebut jew bu atsj. Tarian menceritakan asal usul nenek moyang mereka. Selain itu, mereka juga sering menarikan tari pirang, tari bakar batu dan tari jos panpacar dengan iringan alat musik tradisional yang disebut tifa.(ICH/Tim Potret)
Sungai Asewetsj adalah kehidupan bagi mereka. Saban hari, laki-laki dan perempuan dengan perkasa tegap berdiri di atas perahu lesung mengayunkan dayung, menyisir sungai untuk menangkap ikan. Ada pula yang memanfaatkan air pasang untuk pergi ke bivak (semacam kebun di dekat hutan sagu), atau mencari air di dusun tengah hutan.
Kehidupan di Kampung Syuru memang tampak keras. Tapi mereka hidup sederhana, tak serakah dan bersahabat dengan alam. Salah satu tetua adat Syuru, Felix Owom, meyakini Syuru sebagai dusun tertua atau tempat asal-muasal orang Asmat. Dari sana kemudian orang Asmat menyebar ke berbagai daerah.
Banyak cerita, salah satunya, konon, Fumeripits yang dikenal sebagai manusia pertama terdampar di Syuru ketika perahunya terbalik disapu badai. Fumeripits yang tampan lalu dihidupkan oleh burung elang. Lama-kelamaan Fumeripits kesepian tanpa teman. Dia kemudian membuat patung dari kayu pohon berwujud perempuan dan sebuah tifa.
Sambil menari, tifa dipukul kencang-kencang. Tiba-tiba patung perempuan itu ikut menari. Juga patung-patung lain yang dibuatnya. Barangkali itu sebabnya sebagian orang meyakini konon Asmat berasal dari sebutan asmat-ow yang berarti "kami manusia sejati" atau as-asmat, yakni "kami manusia pohon".
Falsafah manusia sejati kemudian mereka wujudkan dalam kehidupan yang dekat serta menghargai alam. Mereka tak macam-macam. Saat musim kering berkepanjangan, setiap keluarga di sana hanya sibuk membuat perahu dari kayu Ci. Pembuatan perahu rata-rata membutuhkan waktu lebih dari sebulan dan setiap keluarga bisa membuat lebih dari dua perahu.
Selain sederhana, mereka pun sangat menghargai kebudayaan yang sudah turun temurun. Salah satunya adalah ritual menyambut panglima besar Suku Asmat yang juga Bupati Kabupaten Asmat. Upacara penyambutan biasanya dilakukan di tengah sungai.
Kala itu, mereka mendapat kabar sang panglima sudah sampai di Kampung Ewer, tetangga kampung terdekat dengan Kampung Syuru. Mereka pun segera menaiki sampan untuk menyambutnya di tengah Sungai Aswet yang melintasi Kampung Ewer.
Suku Asmat memang terpisah menjadi tujuh distrik dengan jumlah populasi sekitar 80 ribu jiwa. Setiap distrik dipisahkan oleh rawa dan sungai. Namun mereka biasa berkumpul dalam sebuah rumah besar sebelum acara penyambutan. Bentuk fisik arsitektur Suku Asmat digolongkan dalam dua tipe, yaitu Jew (rumah bujang) dan Tsjewi (rumah tempat tinggal keluarga batih). Jew memiliki tempat yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Asmat.
Mereka berdandan layaknya prajurit yang siap melindungi keselamatan suku mereka. Mereka akan bergegas menuju perahu kala mendengar sang pemimpin sudah tiba. Sambil menyusuri Sungai Aswet, mereka berteriak ke penjuru desa sambil membentuk formasi perahu lesung yang masing-masing bisa berbobot empat kuintal dengan panjang hingga dua meter. Formasi adalah bentuk tarian perang yang kini menjadi ritual penting dalam menyambut tamu.
Selain budaya, penduduk Kampung Syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti Suku Asmat umumnya. Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran Suku Asmat.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat kala mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain. Itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow Capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Mereka percaya sebelum memasuki dunia surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta Patung Bis (Bispokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat sagu.
Konon patung Bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Namun kini membuat patung bagi Suku Asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. Sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat Pesta Ukiran. Mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah di luar Papua.
Namun penghargaan terhadap leluhur tidak hanya dalam bentuk ukiran patung. Suku Asmat juga mempersembahkan tarian yang mereka sebut jew bu atsj. Tarian menceritakan asal usul nenek moyang mereka. Selain itu, mereka juga sering menarikan tari pirang, tari bakar batu dan tari jos panpacar dengan iringan alat musik tradisional yang disebut tifa.(ICH/Tim Potret)
Agats, Hingga
sekarang belum ada satu pun motif atau jenis karya seni para seniman Asmat di
Papua yang dipatenkan meski telah dikenal di banyak negara. Pemerintah dan
pemerhati seni diminta aktif membantu seniman daerah itu untuk mematenkan karya
mereka agar Indonesia tak
lagi kecolongan warisan leluhur, seperti yang terjadi pada ukiran Bali dan berbagai batik di Jawa.
”Beberapa kali kami berusaha membuat database motif ukiran khas seniman Asmat dan mendaftarkan patennya, tetapi belum berhasil,” ujar Erick Sarkol, Kepala Museum Asmat di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (11/10). Saat ini di Agats digelar Pesta Budaya Asmat 2008 yang menginjak tahun ke-25.
Erick mengatakan, belum ada motif ukiran Asmat yang terdaftar dalam hak cipta. Belum ada pula seniman luar mengklaim memiliki hak cipta ukiran Asmat. ”Ukiran Asmat dapat dibedakan dari ukiran daerah lain. Ini tampak dari bahan baku yang dipakai, yaitu batang sagu atau pohon perahu. ”Alur pahatan juga memiliki keunikan tersendiri,” ujar kurator ini.
Uskup Asmat, Mgr Alloysius Moerwito, menambahkan, keuskupan telah berusaha meningkatkan dan mempertahankan kekayaan seni budaya masyarakat Asmat dengan menggelar pesta budaya tahunan. Untuk pergelaran tahun depan, keuskupan tak lagi menjadi panitia utama.
”Kami pikir sudah saatnya pemerintah mengambil alih tanggung jawab penyelenggaraan pesta budaya mendatang. Namun, kami akan tetap membantu langkah-langkah menjaga kelestarian budaya Asmat,” ujarnya.
Erick Sarkol menambahkan, kualitas hasil ukiran seniman Asmat tahun ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Itu tampak dari lomba ukiran yang sebagian besar dilelang kepada wisatawan. (ich)
”Beberapa kali kami berusaha membuat database motif ukiran khas seniman Asmat dan mendaftarkan patennya, tetapi belum berhasil,” ujar Erick Sarkol, Kepala Museum Asmat di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (11/10). Saat ini di Agats digelar Pesta Budaya Asmat 2008 yang menginjak tahun ke-25.
Erick mengatakan, belum ada motif ukiran Asmat yang terdaftar dalam hak cipta. Belum ada pula seniman luar mengklaim memiliki hak cipta ukiran Asmat. ”Ukiran Asmat dapat dibedakan dari ukiran daerah lain. Ini tampak dari bahan baku yang dipakai, yaitu batang sagu atau pohon perahu. ”Alur pahatan juga memiliki keunikan tersendiri,” ujar kurator ini.
Uskup Asmat, Mgr Alloysius Moerwito, menambahkan, keuskupan telah berusaha meningkatkan dan mempertahankan kekayaan seni budaya masyarakat Asmat dengan menggelar pesta budaya tahunan. Untuk pergelaran tahun depan, keuskupan tak lagi menjadi panitia utama.
”Kami pikir sudah saatnya pemerintah mengambil alih tanggung jawab penyelenggaraan pesta budaya mendatang. Namun, kami akan tetap membantu langkah-langkah menjaga kelestarian budaya Asmat,” ujarnya.
Erick Sarkol menambahkan, kualitas hasil ukiran seniman Asmat tahun ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Itu tampak dari lomba ukiran yang sebagian besar dilelang kepada wisatawan. (ich)

Papua, SULIT dipercaya, saat melihat sebuah pemandangan
salju yang berada di daerah panas karena beriklim tropis. Terlebih jika
pemandangan salju itu terhampar di puncak-puncak gunung dengan dindingnya yang
berwarna kehitaman.
Inilah pengalaman berkesan bagi tim saat berada di atas Pegunungan Jayawijaya. Tidak seluruh puncak dari gugusan Pegunungan Jayawijaya yang memiliki salju. Salju yang dimiliki oleh beberapa puncak bahkan saat ini sudah hilang karena perubahan cuaca secara global.
Saat ini, salju yang tersisa hanya berada di Puncak Jaya, Meren, Northwall, dan Ngga Pulu. Sebelum berubah nama menjadi Puncak Jaya, puncak ini dahulunya bernama Carstenz Pyramide.
Puncak Jaya yang bersalju ini merupakan salah satu puncak gunung gletser yang ada di kawasan khatulistiwa, seperti puncak es lainnya yang berada di Afrika dan Amerika Selatan.
Adalah suatu keberuntungan jika kita dapat melihatnya karena kawasan puncak dengan salju di pucuknya ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Beruntung pula tim mendapat izin untuk melihat dan mengambil gambar panorama puncak es ini.
Setelah mendapat izin dari Kepala Hanggar Jhon Solang, tim menggunakan sebuah helikopter dan berputar-putar sekitar 30 menit di puncak gunung yang ditutupi salju tersebut.
Dari udara, puncak tersebut mirip bebatuan hitam dengan permadani putih yang lembut. Saat matahari sedang bersinar cerah, hamparan salju itu memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan mata akan lebih nikmat saat langit sedang berawan sehingga hamparan salju itu akan memunculkan kesan kedamaian di tengah teduhnya cuaca.
Sulit mencari pembanding
Puncak dengan lereng yang sangat curam itu menampilkan pesona alam yang sulit dicari bandingannya. Dindingnya yang hitam berdiri hampir tegak lurus dengan permukaan tanah yang berada ratusan meter di bawahnya.
Salju terlihat begitu lembut dan seperti memanggil-manggil setiap manusia yang melintasinya. Tangan ini seperti sudah tidak sabar untuk menyentuh lembutnya salju yang laksana kapas tersebut.
Pemandangan salju es sungguh memukau. Apalagi jika memasuki akhir tahun di mana musim dingin dan hujan tiba. Di musim itu, biasanya salju menutupi hampir semua puncak Pegunungan Jayawijaya hingga ke lereng di bawahnya.
Usai pengambilan gambar, anggota tim seperti tercenung. Entah apa yang ada di dalam pikiran, mereka seperti sedang merenungi salju abadi yang bertengger di batu cadas yang menjulang tinggi. Sebuah pengalaman tersendiri saat menikmati kebesaran alam.
Maka tak salah jika dulu, orang Belanda menyebut kepulauan Nusantara sebagai 'Untaian Zamrud di Khatulistiwa' dengan Papua sebagai salah satu induknya.
"Hei, lihat! Itu Membramo, sungai terbesar di Papua," tunjuk sang pilot. Dari pintu heli terlihat alur sungai yang melingkar-lingkar seperti ular. Di ketinggian 5.000 mdpl, sungai terlihat jelas. Warnanya kecokelatan dengan hijaunya pepohonan yang berada di sepanjang tepian sungai.
Dari ketinggian, eloknya alam Papua membuat orang terpana karena tak ada bandingannya. Terkadang awan tebal menutupi pemandangan di bawah. Namun, beraraknya awan di bawah heli pun tampak menawan dengan warna putihnya yang menghiasi langit nan biru.
Namun di balik keindahan dan kesan damai dari pemandangan salju itu, sungguh berat usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Bukannya birokrasi perizinan yang rumit, namun kekuatan fisik menjadi beban tersendiri.
Pasalnya, kadar oksigen yang terkandung dalam udara pada ketinggian sekitar 5.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, sangatlah tipis. Hanya tinggal sepuluh persen! Artinya, jika saat ini kita mampu menghirup udara dalam-dalam dan rongga dada tidak terasa sakit, itu berarti kadar oksigennya 100%.
Namun di ketinggian tersebut, dada terasa sesak karena sedikitnya asupan
oksigen yang masuk ke dalam tubuh. Saraf otak yang tidak mendapat cukup oksigen
akan membuat kepala terasa pusing, mata mengantuk, dan tubuh akan terasa lemas.
Hal ini diperparah dengan rendahnya suhu udara yang berada di bawah nol derajat Celsius. Rongga hidung akan terasa perih karena menghirup dinginnya udara. Meski sudah mengenakan jaket tebal, dinginnya udara tetap terasa hingga tulang. Persendian tulang perlahan-lahan akan terasa nyeri.
Karena tidak menggunakan sarung tangan, dua orang kamerawan yang bertugas mengambil gambar pun sudah sulit menggerakkan jarinya meski hanya untuk menekan tombol kamera. Terlebih saat mereka harus memutar-mutar lensa tele-nya supaya mendapat kualitas gambar yang baik. Jari mereka terasa keras dan kaku untuk bergerak.
"Sungguh sulit untuk mendapatkan gambar yang bagus. Kami memang tidak memperhitungkan sebelumnya bahwa harus mengenakan sarung tangan yang tebal. Udara dingin membuat telapak tangan mengeras sehingga jari-jari terasa kaku. Sesekali saya harus memasukkan telapak tangan ke dalam celana dan menjepitnya di antara kedua paha supaya mendapatkan kehangatan. Berat sekali tantangan yang harus kami hadapi," tutur Agus Mulyawan, fotografer Media.
"Tapi, ini sungguh sebuah pemandangan yang memukau. Bertahun-tahun menyelami dunia fotografi, baru kali ini saya mendapatkan sudut pengambilan gambar yang tidak ada habis-habisnya. Dari mana saja sudut pandangnya, pemandangan akan terlihat indah. Sayang, kekuatan tubuh membuat kami tidak dapat berlama-lama di sana," timpal anggota tim yang lain.(Msc/S-5)
(sumber: media indonesia)
Inilah pengalaman berkesan bagi tim saat berada di atas Pegunungan Jayawijaya. Tidak seluruh puncak dari gugusan Pegunungan Jayawijaya yang memiliki salju. Salju yang dimiliki oleh beberapa puncak bahkan saat ini sudah hilang karena perubahan cuaca secara global.
Saat ini, salju yang tersisa hanya berada di Puncak Jaya, Meren, Northwall, dan Ngga Pulu. Sebelum berubah nama menjadi Puncak Jaya, puncak ini dahulunya bernama Carstenz Pyramide.
Puncak Jaya yang bersalju ini merupakan salah satu puncak gunung gletser yang ada di kawasan khatulistiwa, seperti puncak es lainnya yang berada di Afrika dan Amerika Selatan.
Adalah suatu keberuntungan jika kita dapat melihatnya karena kawasan puncak dengan salju di pucuknya ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Beruntung pula tim mendapat izin untuk melihat dan mengambil gambar panorama puncak es ini.
Setelah mendapat izin dari Kepala Hanggar Jhon Solang, tim menggunakan sebuah helikopter dan berputar-putar sekitar 30 menit di puncak gunung yang ditutupi salju tersebut.
Dari udara, puncak tersebut mirip bebatuan hitam dengan permadani putih yang lembut. Saat matahari sedang bersinar cerah, hamparan salju itu memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan mata akan lebih nikmat saat langit sedang berawan sehingga hamparan salju itu akan memunculkan kesan kedamaian di tengah teduhnya cuaca.
Sulit mencari pembanding
Puncak dengan lereng yang sangat curam itu menampilkan pesona alam yang sulit dicari bandingannya. Dindingnya yang hitam berdiri hampir tegak lurus dengan permukaan tanah yang berada ratusan meter di bawahnya.
Salju terlihat begitu lembut dan seperti memanggil-manggil setiap manusia yang melintasinya. Tangan ini seperti sudah tidak sabar untuk menyentuh lembutnya salju yang laksana kapas tersebut.
Pemandangan salju es sungguh memukau. Apalagi jika memasuki akhir tahun di mana musim dingin dan hujan tiba. Di musim itu, biasanya salju menutupi hampir semua puncak Pegunungan Jayawijaya hingga ke lereng di bawahnya.
Usai pengambilan gambar, anggota tim seperti tercenung. Entah apa yang ada di dalam pikiran, mereka seperti sedang merenungi salju abadi yang bertengger di batu cadas yang menjulang tinggi. Sebuah pengalaman tersendiri saat menikmati kebesaran alam.
Maka tak salah jika dulu, orang Belanda menyebut kepulauan Nusantara sebagai 'Untaian Zamrud di Khatulistiwa' dengan Papua sebagai salah satu induknya.
"Hei, lihat! Itu Membramo, sungai terbesar di Papua," tunjuk sang pilot. Dari pintu heli terlihat alur sungai yang melingkar-lingkar seperti ular. Di ketinggian 5.000 mdpl, sungai terlihat jelas. Warnanya kecokelatan dengan hijaunya pepohonan yang berada di sepanjang tepian sungai.
Dari ketinggian, eloknya alam Papua membuat orang terpana karena tak ada bandingannya. Terkadang awan tebal menutupi pemandangan di bawah. Namun, beraraknya awan di bawah heli pun tampak menawan dengan warna putihnya yang menghiasi langit nan biru.
Namun di balik keindahan dan kesan damai dari pemandangan salju itu, sungguh berat usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Bukannya birokrasi perizinan yang rumit, namun kekuatan fisik menjadi beban tersendiri.
Pasalnya, kadar oksigen yang terkandung dalam udara pada ketinggian sekitar 5.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, sangatlah tipis. Hanya tinggal sepuluh persen! Artinya, jika saat ini kita mampu menghirup udara dalam-dalam dan rongga dada tidak terasa sakit, itu berarti kadar oksigennya 100%.

Hal ini diperparah dengan rendahnya suhu udara yang berada di bawah nol derajat Celsius. Rongga hidung akan terasa perih karena menghirup dinginnya udara. Meski sudah mengenakan jaket tebal, dinginnya udara tetap terasa hingga tulang. Persendian tulang perlahan-lahan akan terasa nyeri.
Karena tidak menggunakan sarung tangan, dua orang kamerawan yang bertugas mengambil gambar pun sudah sulit menggerakkan jarinya meski hanya untuk menekan tombol kamera. Terlebih saat mereka harus memutar-mutar lensa tele-nya supaya mendapat kualitas gambar yang baik. Jari mereka terasa keras dan kaku untuk bergerak.
"Sungguh sulit untuk mendapatkan gambar yang bagus. Kami memang tidak memperhitungkan sebelumnya bahwa harus mengenakan sarung tangan yang tebal. Udara dingin membuat telapak tangan mengeras sehingga jari-jari terasa kaku. Sesekali saya harus memasukkan telapak tangan ke dalam celana dan menjepitnya di antara kedua paha supaya mendapatkan kehangatan. Berat sekali tantangan yang harus kami hadapi," tutur Agus Mulyawan, fotografer Media.
"Tapi, ini sungguh sebuah pemandangan yang memukau. Bertahun-tahun menyelami dunia fotografi, baru kali ini saya mendapatkan sudut pengambilan gambar yang tidak ada habis-habisnya. Dari mana saja sudut pandangnya, pemandangan akan terlihat indah. Sayang, kekuatan tubuh membuat kami tidak dapat berlama-lama di sana," timpal anggota tim yang lain.(Msc/S-5)
(sumber: media indonesia)
Langganan:
Postingan (Atom)